loading...
Pesta Untuk Tuan-Tuan Asing di Tengah Tangis Rakyat



_Zahid – Sabtu, 24 Muharram 1440 H / 6 Oktober 2018 16:00 WIB_

*_https://politik.rmol.co/read/2018/10/06/360737/Pesta-Untuk-Tuan-tuan-Asing-Di-Tengah-Tangis-Rakyat-_*

https://www.eramuslim.com/berita/nasional/pesta-untuk-tuan-tuan-asing-ditengah-tangis-rakyat.htm#.W7q1Btcza00


Eramuslim – Di Tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara menulis satu artikel kecaman kepada pemerintah kolonial Belanda yang akan menyelenggarakan pesta besar-besaran dengan biaya dari uang rakyat.

Pesta untuk kesenangan kaum elit penjajah itu sangat kontras dengan keadaan kehidupan bumiputera terjajah yang terpuruk oleh kemiskinan dan berbagai kesengsaraan akibat tekanan sistem perekonomian yang menindas.

Di koran De Express milik Ernest Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi), edisi 13 Juli 1913, Dewantara menulis kritiknya yang tajam dan mencela orang Belanda itu, berjudul: Als Ik Eens Nederlander Was, atau Seandainya Aku Orang Belanda…

“Kalau aku orang Belanda aku tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang telah aku rampas kemerdekaannya…” demikian salah satu paragraf artikel tersebut.

Pesta perayaan yang dimaksud yang dikecam oleh Dewantara adalah peringatan 100 tahun Belanda bebas dari penjajahan Perancis yang dirayakan khususnya di tanah Jawa, dengan memungut biaya dari rakyat.

Akibat tulisan itu Dewantara dibuang ke Bangka.

Sebelumnya sebagai perlawanan ia bersama Cipto Mangunkusumo mendirikan koalisi bersama rakyat dan tokoh-tokoh pergerakan yang diberi nama Komite Bumiputera.

Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo ditangkap, Deuwes Dekker membelanya melalui tulisan berjudul: Onze Helden: Tjipto Mangunkusumo en Suwardi Surjaningrat, atau Pahlawan-Pahlawan Kita: Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

Boro-boro melunak oleh kritik; pemerintah kolonial Belanda malah kalap, mengintimidasi dan melakukan character assassination (pembunuhan karakter) terhadap para tokoh.

Ketiga tokoh ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai, berdasarkan Exorbitante Rechten atau Hak-Hak Istimewa Gubernur Jenderal untuk Mengadili Orang Tanpa Pengadilan, dibuang ke Belanda selama bertahun-tahun.

Kini, 105 tahun kemudian, yaitu 8 Oktober 2018, atau hari Senin lusa, pesta pora dengan menghambur-hamburkan uang rakyat demi untuk kesenangan para elit kekuasaan dan tuan-tuan bangsa asing, akan kembali terulang, berupa pesta pertemuan IMF dan World Bank.

Demi gengsi dan kebanggaan palsu terhadap jalan sesat perekonomian neoliberal yang tidak membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan perekonomian nasional pesta ini akan dibikin di Pulau Dewata, dan diperkirakan akan menghabiskan lebih dari 855 miliar rupiah.

Tragis dan ironis pesta pertemuan yang dipersembahkan untuk tuan-tuan asing ini akan berlangsung di tengah tangisan kepedihan dan kesengsaraan rakyat, khususnya rakyat Palu, Donggala, dan Lombok yang baru saja tertimpa musibah maha hebat, yaitu gempa bumi dan tsunami.

Sikap menghamba kepada asing ini juga persis dengan tingkah raja-raja feodal, despot & tiran tempo dulu yang suka memanjakan asing. Notabene: kebetulan Menkeu Sri Mulyani oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo pernah dikatakan sebagai SPG (Sales Promotion Girl) IMF dan World Bank.

Menurut berita, selain akan dimanjakan oleh berbagai fasilitas mewah berstandar internasional, para anggota delegasi juga dijamin aman-nyaman dan bakal menerima layanan quick respon dalam waktu 10 menit kalau-kalau terjadi bencana alam atau kejadian lainnya dengan disediakannya 30 helikopter untuk evakuasi.

Untuk hiburan bagi tuan-tuan antara lain disediakan kapal pesiar dengan kapasitas 3.000 penumpang, termasuk layanan rumah sakit apung, dan pengamanan laut serba maksimal.

Tokoh bangsa Dr. Rizal Ramli sendiri mengkritik keras pesta pora ala neoliberal ini, antara lain menurutnya karena tidak mencerminkan empati atas berbagai penderitaan yang sedang dialami oleh rakyat, khususnya kondisi perekonomian rakyat.

Dalam pandangan masyarakat awam pun dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk kemaslahatan rakyat, seperti untuk memaksimalkan pembelian alat-alat pendeteksi tsunami, recovery para korban gempa dan tsunami, membangun dan memperbaiki gedung-gedung sekolah di banyak daerah yang masih di bawah standar kelayakan, dan banyak lagi.

Tentang paham sesat perekonomian neoliberal Sukarno sendiri yang mengatakan “liberalisme (neoliberalisme) merupakan ibu semua bencana…”

“Kita tidak dapat mengambil manfaat seratus persen daripada kekayaan bumi dan air kita kalau imperialisme ekonomi masih bercokol di bumi kita, laksana lintah menghisap darah, laksana kemladen (parasit) yang membinasakan pohon, liberalisme telah membawa banyak bencana…” (rmol)

OLEH: ARIEF GUNAWAN
Penulis adalah wartawan senior

*_https://politik.rmol.co/read/2018/10/06/360737/Pesta-Untuk-Tuan-tuan-Asing-Di-Tengah-Tangis-Rakyat-_*

*_https://politik.rmol.co/read/2018/10/05/360618/Wajar-Jika-IMF-Menunda-Pertemuan-Di-Indonesia-_*

*Wajar Jika IMF Menunda Pertemuan Di Indonesia Berbiaya 800 Milyard*

*_https://politik.rmol.co/read/2018/10/02/360003/Dugaan-Ketidakberesan-Dana-Pertemuan-IMF-Terendus-_*

Dugaan Ketidakberesan Dana Pertemuan IMF Terendus

ADA dua alasan penting mengapa IMF dapat menunda per pertemuan tahunan IMF-WB di Bali pada 8 hingga 14 Oktober 2018

*Pertama; Alasan Kemanusiaan*

Seluruh dunia tahu Indonesia sedang ditimpa bencana bertubi tubi. Seluruh dunia juga tahu betapa respon Pemerintah dalam menangani korban bencana dan dampak bencana amat sangat lamban, dan kemampaun dalam menghadapi bencana sangat lemah baik dari sisi keuangan, peralatan, dan tenaga manusia.

*_https://politik.rmol.co/read/2018/10/02/359974/Dana-Pertemuan-IMF-World-Bank-Lebih-Baik-Untuk-Korban-Gempa-_*

Ribuan orang masih tertimbun dalam bumi dan reruntuhan gempa Palu. Puluhan ribu orang sedang merenggang nyawa, kelurangan obat obatan, air bersih dan makanan, dan menunggu uluran tangan pemerintah. Bala bantuan yang datang tak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Bahkan untuk sesuap makanan ada yang menjarah ditengah ketakutan ditangkap aparat.

Korban gempa Lombok tak kalah menderita. Ratusan ribu orang masih mengungsi di tenda tenda darurat di Lombok dan Sumbawa karena gempa masih terus terjadi. Hidup di dalam tekanan trauma yang mendalam tanpa ada penanganan yang memadai dari Pemerintah. Bantuan Rp 50 juta untuk setiap rumah yang rusak berat belum direalisasikan oleh pemerintah.

Komunitas internasional sampai kebingungan, mempertanyakan bagaimana cara membantu korban gempa di Palu dan Lombok. Mereka menyaksikan dari media sosial betapa dahsyatnya kedua gempa ini, dan betapa menderitanya korban gempa.

Rupanya pemerintah tidak memiliki infrastruktur yang memadai dalam menjawab solidaritas internasional atas bencana gempa ini. Pemerintah juga tidak berterus terang tentang masalah yang dihadapi kepada rakyat dan kepada komunitas internasional.

Kedua; Kondisi Ekonomi Indonesia yang Tengah Sekarat

Ekonomi Indonesia tengah sekarat, bunga Uutang Pemerintah terancam tak terbayarkan, utang baru pemerintah sulit diperoleh dikarenakan masalah nilai tukar rupiah yang rontok. Indonesia berada satu kontingen krisis bersama Turki dan Argentina dikarenakan defisit neraca eksternal yang bersifat permanen.

Bahkan Menjelang pertemuan IMF dan di depan mata lembaga keuangan internasional itu sendiri, mereka menyaksikan rupiah rontok dengan cepat dalam minggu minggu menjelang pertemuan IMF.

Seharusnya rupiah menguat menjelang pertemuan lembaga keuangan multilateral yang paling berpengaruh ini, namun yang terjadi sebaliknya. Pelaku pasar boleh jadi tidak menganggap penting pertemuan IMF tersebut, dan tidak melihat ada hubungannya dengan mengatasi krisis keuangan Indonesia.

Sementara IMF tidak dalam kapasitas dapat menangani masalah keuangan dan moneter yang dihadapi Indonesia. Bagi IMF reformasi ekonomi Indonesia sudah selesai, reformasi sektor keuangan Indonesia sudah selesai dan tidak ada urgensinya ikut campur dan apalagi memberikan bantuan keuangan.

Tentu IMF tidak mau mempertaruhkan kredibilitasnya. IMF tahu persis bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan keluar dari jebakan krisis dan pelemahan curency. IMF tidak mungkin mau menanggung malu. Melakukan pertemuan di sebuah negara dan di depan mata mereka negara tersebut ekonominya runtuh.

Kedua hal tersebut di atas cukup menjadi alasan bagi IMF untuk menunda pertemuan akbar di Bali. Mengingat pertemuan anual meeting ini menelan biaya yang sangat besar.

Karena ini bukan pertemuan biasa, ini agenda akbar luar biasa. Bayangkan saja pertemuan ini akan menghadirkan sebanyak 12.000 sampai 15.000 orang, dengan 3.500 delegasi resmi dari 189 negara anggota, sekitar 1.000 media, dan lebih dari 5.000 peserta yang terdiri dari para CEO swasta, komunitas perbankan, akademisi, parlemen dan LSM. Ini pesta akbar, bukan agenda biasa!

Mau taruh dimana muka mereka berpesta pora, menghabiskan anggaran triliunan rupiah, dilayani dayang dayang, sementara di sebelah mereka mayat mayat bergelimpangan, bau luka dan nanah, jerit tangis penderitaan korban gempa dan puing puing reruntuhan  ekonomi Indonesia. Malu kali. [***]

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

*_https://ekbis.rmol.co/read/2018/10/02/359991/Indonesia-Sedang-Berduka,-Batalkan-Pertemuan-IMF-Dan-World-Bank-_*


0 comments:

Post a Comment

 
Top